2.1 Awal
Munculnya Etika Politik
Etika politik sebagai ilmu dan
cabang filsafat lahir di Yunani pada saat struktur politik tradisional
berangsur-angsur mulai rapuh sampai ambruk. Dengan runtuhnya tatanan masyarakat
Athena, muncul berbagai macam pertanyaan tentang masyarakat dan negara, seperti
bagaimana seharusnya masyarakat harus di tata dan siapa yang harus menata, apa
tujuan negara dan beragam pertanyaan lainnya. Dua ribu tahun kemudian, kurang
lebih lima ratus tahun yang lalu, etika politik bertambah momentumnya.
Legitimasi kekuasaan raja dalam tatanan hierarkis kosmos tidak lagi di terima
begitu saja. Legitimasi tatanan hukum, negara dan hak raja untuk memerintah
masyarakat dipertanyakan. Situasi seperti ini tampak jelas pada zaman
industrialisasi yang memicu kebangkitan filsafat politik. Klaim-klaim
legitimasi kekuasaan yang saling bertentangan menuntut refleksi filosofis atas
prinsip dasar kehidupan politik. Etika politik lebih berperan pada tuntutan
agar segala klaim atas hak untuk menata masyarakat dipertanggung-jawabkan pada
prinsip moral dasar. Klaim-klaim legitimasi dari segala macam kekuatan, baik
bersifat kekuasaan langsung atau tersembunyi di belakang pembenaran normatif
harus merasionalisasikan dengan kebenaran umum. Filsafat politik mendorong
afirmativitas yang tidak dipertanyakan dalam permukaan saja, tetapi memaksa
tuntutan ideologis untuk membuktikan diri filsafat, dengan demikian menjadi
reflektif dan terbuka terhadap kritik, atau memang ditelanjangi sebagai layar
asap ideologis bagi kepentingan tertentu.
Al-Ghazali merupakan seorang penulis
dan filsuf muslim abad pertengahan yang memiliki corak pemikiran dan pemahaman
yang sinergis dan relevan dengan hal tersebut. Pemikiran al-Ghazali tentang
etika kuasa (politik) seperti dalam teorinya bagaimana cara menjalankan sebuah sistem
kenegaraan yang mempertimbangkan moralitas untuk kemaslahatan bersama dengan
pemimpin yang mempunyai integritas tinggi ditopang dengan kekuatan moral yang
memenuhi beberapa kriteria yang al-Ghazali idealkan. Masih dimungkinkan sebagai
referensi dalam menata sebuah negara pada masa sekarang dari beberapa teori
tentang filsafat politik khususnya dalam tradisi filsafat Islam.
Konsepsi etika politik al-Ghazali
adalah suatu teori sistem pemerintahan yang berisikan masyarakat dan aparatur
negara yang mempunyai moral yang baik dengan ditopang oleh agama sebagai dasar
negara. Seorang pemimpin yang ideal menurut al-Ghazali adalah seorang yang
mengerti tentang budi luhur atau moral agama dan kebijaksanaan yang harus
diterapkan dalam menjalankan sistem pemerintahan.
2.2 Pengertian
Etika
Menurut Bartens, sebenarnya terdapat
tiga makna dari etika. Pertama, etika dipakai dalam arti
nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seorang atau suatu
kelompok dalam mengatur tingkah lakunya (sistem nilai dalam hidup manusia
perseorangan atau hidup bermasyarakat). Kedua, etika dipakai dalam
arti kumpulan asas dan nilai moral, yang dimaksud disini adalah kode etik. Ketiga,
etika dipakai dalam arti ilmu tentang yang baik atau yang buruk (sama dengan
filsafat moral).
Etika termasuk kelompok filsafat
praktis yang membahas bagaimana manusia bersikap terhadap segala sesuatu yang
ada. Etika dibagi menjadi dua kelompok yaitu etika umum dan etika khusus. Etika
merupakan suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan
pandangan-pandangan moral. Etika adalah suatu ilmu yang membahas tentang
bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran moral tertentu atau bagaimana
kita harus mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan pelbagai
ajaran moral (Suseno, 1987). Etika umum mempertanyakan prinsip-prinsip yang
berlaku bagi setiap tindakan manusia, sedangkan etika khusus membahas
prinsip-prinsip itu dalam hubungannya dengan pelbagai kehidupan manusia
(Suseno, 1987). Etika khusus dibagi menjadi etika individual yang membahas
kewajiban manusia terhadap diri sendiri dan etika sosial yang membahas
kewajiban manusia terhadap manusia lain dalam hidup bermasyarakat, yang
merupakan suatu bagian terbesar dari etika khusus.
Etika berkaitan dengan pelbagai
masalah nilai karena etika pada pokoknya membicarakan masalah-masalah yang
berkaitan dengan predikat nilai “baik” dan “buruk” segala sesuatu. Sebagai
bahasan khusu etika membicarakan sifat-sifat yang menyebabkan orang dapat
disebut susila atau bijak. Kualitas-kualitas ini dinamakan kebajikan yang
berlawanan dengan kejahatan (tidak susila). Etika lebih banyak bersangkutan
dengan prinsip-prinsip dasar pembenaran dalam hubungan dengan tingkah laku
manusia (Kattsoff, 1986). Atau dengan kata lain etika berkaitan dengan
dasar-dasar filosofis dalam hubungan dengan tingkah laku manusia.
2.3 Pengertian
Politik
Pengertian politik berasal dari kosa
kata “politics” yang memiliki makna bermacam-macam kegiatan dalam suatu
sistem politik atau “negara” yang menyangkut proses tujuan penentuan-penentuan
tujuan dari sistem itu dan diikuti dengan pelaksanaan tujuan-tujuan itu.
Pengambilan keputusan atau “decisionsmaking” mengenai apakah yang
menjadi tujuan dari sistem politik itu yang menyangkut seleksi antara beberapa
alternatif dan penyusunan skala prioritas dari tujuan-tujuan yang dipilih
tersebut.
Untuk pelaksanaan tujuan-tujuan itu
perlu ditentukan kebijaksanaan-kebijaksanaan umum atau public policies,
yang menyangkut pengaturan dan pembagian ataudistributions dari
sumber-sumber yang ada. Untuk melakukan kebijaksanaan-kebijaksanaan itu
diperlukan suartu kekuasaan (power), dan kewenangan (authority)
yang akan dipakai baik untuk membina kerjasama maupun menyelesaikan konflik
yang mungkin timbul dalam proses ini. Cara-cara yang dipakai dapat bersifat persuasi,
dan jika perlu dilakukan suatu pemaksaan (coercion). Tanpa adanya suatu
paksaan kebijaksanaan ini hanya merupakan perumusan keinginan belaka (statement
of intents) yang tidak akan pernah terwujud. Secara operasional bidang
politik menyangkut konsep-konsep pokok yang berkaitan dengan negara (state),
kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decisionsmaking),
kebijaksanaan (policy), pembagian (distributions) serta alokasi (allocation).
Politik selalu menyangkut
tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat (public goals), dan bukan tujuan
pribadi seseorang (privat goals). Selain itu politik menyangkut kegiatan
berbagai kelompok termasuk partai politik, lembaga masyarakat maupun
perseorangan. Dalam hubungan dengan etika politik pengertian politik harus
dipahami dalam pengertian yang luas yaitu menyangkut seluruh unsur yang
membentuk suatu persekutuan hidup yang disebut masyarakat negara.
2.4 Etika
Politik
Etika politik merupakan sebuah
cabang dalam ilmu etika yang membahas hakikat manusia sebagai makhluk yang
berpolitik dan dasar-dasar norma yang dipakai dalam kegiatan politik. Etika
politik sangat penting karena mempertanyakan hakikat manusia sebagai makhluk
sosial dan mempertanyakan atas dasar apa sebuah norma digunakan untuk
mengontrol perilaku politik. Etika politik menelusuri batas-batas ilmu politik,
kajian ideologi, asas-asas dalam ilmu hukum, peraturan-peraturan
ketatanegaraan, asumsi-asumsi, dan postulat-postulat tentang masyarakat dan
kondisi psikologis manusia sampai ke titik terdalam dari manusia melalui
pengamatan terhadap perilaku, sikap, keputusan, aksi, dan kebijakan politik.
Etika politik tidak menerima begitu saja sebuah norma yang melegitimasi
kebijakan-kebijakan yang melanggar konsep nilai intersubjektif (dan sekaligus
nilai objektif juga) hasil kesepakatan awal. Jadi, tugas utama etika politik
sebagai metode kritis adalah memeriksa legitimasi ideologi yang dipakai oleh
kekuasaan dalam menjalankan wewenangnya. Namun demikian, bukan berarti bahwa
etika politik hanya dapat digunakan sebagai alat kritik. Etika politik harus
pula dikritisi. Oleh karena itu, etika politik harus terbuka terhadap kritik
dan ilmu-ilmu terapan.
Etika politik bukanlah sebuah norma.
Etika politik juga bukan sebuah aliran filsafat atau ideologi, sehingga tidak
dapat dijadikan sebuah pedoman siap pakai dalam pengambilan kebijakan atau
tindakan politis. Etika politik tidak dapat mengontrol seorang politikus dalam
bertindak atau mengambil keputusan, baik keputusan individu, organisasi, atau
kelompok. Namun, etika politik dapat dijadikan rambu-rambu yang membantu
politikus dalam mengambil keputusan.
Fungsi etika politik dalam
masyarakat terbatas pada penyediaan alat-alat teoritis untuk mempertanyakan
serta menjelaskan legitimasi politik secara bertanggung jawab. Jadi, tidak
berdasarkan emosi, prasangka dan apriori, melainkan secara rasional objektif
dan argumentative. Etika politik tidak langsung mencampuri politik praktis. Tugas
etika politik membantu agar pembahasan masalah-masalah ideologis
dapat dijalankan secara objektif.
Hukum dan kekuasaan Negara merupakan
pembahasan utama etika politik. Hukum sebagai lembaga penata masyarakat yang
normatif, kekuasaan Negara sebagai lembaga penata masyarakat yang efektif
sesuai dengan struktur ganda kemampuan manusia (makhluk individu dan sosial).
Pokok permasalahan etika politik adalah legitimasi etis kekuasaan. Sehingga
penguasa memiliki kekuasaan dan masyarakat berhak untuk menuntut pertanggung
jawaban. Legitimasi etis mempersoalkan keabsahan kekuasaan politik dari segi
norma-norma moral. Legitimasi ini muncul dalam konteks bahwa setiap tindakan
Negara baik legislatif maupun eksekutif dapat dipertanyakan dari segi
norma-norma moral. Moralitas kekuasaan lebih banyak ditentukan oleh nilai-nilai
yang diyakini kebenarannya oleh masyarakat.
2.5 Pengertian
Nilai, Norma dan Moral
Berbicara mengenai etika politik
kita juga perlu mengetahui tentang apa yang disebut dengan nilai, norma dan moral.
2.5.1 Pengertian Nilai
Di dalam Dictionary of
Sosciology and Related Sciences dikemukakan bahwa nilai adalah
kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda untuk memuaskan manusia.
Sifat dari suatu benda yang menyebabkan menarik minat seseorang atau kelompok,
(the believed capacity of any object to statistfy a human desire). Jadi
nilai itu pada hakikatnya adalah sifat atau kualitas yang melekat pada suatu
objek itu sendiri. Nilai itu sebenarnya adalah suatu kenyataan yang
“tersembunyi” di balik kenyataan-kenyataan lainnya. Ada nilai itu karena adanya
kenyataan-kenyataan lain sebagai pembawa nilai (wartrager).
Menilai berarti menimbang untuk
selanjutnya mengambil keputusan. Keputusan nilai yang diambil berhubungan
dengan subjek penilai itu sendiri dimana dalam hal ini adalah manusia yang
meliputi unsur-unsur jasmani, akal, rasa, karsa (kehendak) dan kepercayaan.
Sesuatu dikatakan bernilai apabila sesuatu itu berharga, berguna,
benar, indah, baik dan lain sebagainya. Di dalam nilai itu sendiri terkandung
cita-cita, harapan-harapan, dambaan-dambaan dan keharusan. Maka apabila kita
berbicara tentang nilai, sebenarnya kita berbicara tentang hal yang ideal,
tentang hal yang merupakan cita-cita, harapan, dambaan dan keharusan. Berbicara
tentang nilai berarti kita masuk bidang makna normatif, bukan kognitif, kita
masuk ke dunia ideal dan bukan dunia real. Meskipun demikian, diantara
keduannya saling berkait secara erat, artinya yang ideal harus menjadi real,
yang normatif harus direalisasikan dalam perbuatan sehari-hari yang merupakan
fakta.
Max Sceler mengelompokkan nilai ke
dalam empat tingkatan berdasarkan tinggi rendahnya, yakni :
a. Nilai-nilai kenikmatan : dalam tingakatan ini terdapat
deretan nilai-nilai yang mengenakkan dan tidak mengenakkan (die Wertreihe
des Angenehmen und Unangehmen).
b. Nilai-nilai kehidupan : dalam tingakatan ini terdapat
nilai-nilai yang penting bagi kehidupan (Werte des vitalen Fuhlens).
c. Nilai-nilai kejiwaan : dalam tingkatan ini terdapat
nilai-nilai kejiwaan (geistige werte) yang sama sekali tidak tergantung
dari keadaan jasmani maupun lingkungan.
d. Nilai-nilai kerohanian : dalam tingakatan ini terdapat
modalitas nilai dari yang suci dan tidak suci (wermodalitat des Heiligen ung
Unheiligen).
Sedangkan menurut ahli yang lain
yakni Notonagoro membagi nilai menjadi tiga macam, yaitu :
a. Nilai material, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi
kehidupan jasmani manusia atau kebutuhan material ragawi manusia.
b. Nilai vital, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia
untuk dapat mengadakan kegiatan atau aktivitas.
c. Nilai kerokhanian, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi
rohani manusia. Nilai kerohanian ini dapat dibedakan atas empat macam :
1) Nilai kebenaran, yang bersumber pada akal manusia (ratio,
budi, cipta).
2) Nilai keindahan (estetis), yang bersumber pada unsur
perasaan manusia (esthetis, gevoel, rasa).
3) Nilai kebaikan (moral), yang bersumber pada unsur kehendak
manusia (will, wollen, karsa).
4) Nilai religius, yang merupakan nilai kerokhanian teringgi
dan mutlak. Nilai religius ini bersumber kepada kepercayaan atau keyakinan
manusia.
Dalam kaitannya dengan derivasi atau
penjabarannya maka nilai-nilai dapat dikelompokkan menjadi tiga macam yaitu nilai
dasar, nilai instrumental dan nilai praksis.
a. Nilai Dasar
Nilai memiliki sifat yang abstrak
yang tidak dapat diamati indra manusia namun realisasinya bersifat nyata (real).
Setiap nilai memiliki nilai dasar (onotologis) yang merupakan hakikat,
esensi, intisari atau makna yang terdalam dari nilai-nilai tersebut dimana
sifatnya adalah universal karena menyangkut hakikat kenyataan objektif segala
sesuatu. Nilai dasar dapat juga disebut sebagai sumber norma yang pada
gilirannya dijabarkan atau direalisasikan dalam suatu kehidupan yang bersifat
praksis. Konsekuensinya walaupun dalam aspek praksis dapat
berbeda-beda namun secara sistematis tidak dapat bertentangan dengan nilai
dasar yang merupakan sumber penjabaran norma serta realisasi praksis tersebut.
b. Nilai Instrumental
Untuk dapat direalisasikan dalam
suatu kehidupan praksis maka nilai dasar tersebut harus memiliki formulasi
serta parameter atau ukuran yang jelas. Nilai instrumental inilah yang
merupakan suatu pedoman yang dapat diukur dan dapat diarahkan. Nilai
instrumental yang berkaitan dengan tingkah laku manusia merupakan suatu norma
moral. Sedangkan yang berkaitan dengan organisasi maupun negara merupakan suatu
arahan, kebijaksanaan atau strategi yang bersumber pada nilai dasar. Dengan
kata lain nilai instrumental merupakan suatu eksplisitasi dari nilai
dasar.
c. Nilai Praksis
Nilai praksis pada hakikatnya
merupakan penjabaran lebih lanjut dari nilai instrumental dalam suatu kehidupan
yang nyata. Sehingga nilai praksis ini merupakan perwujudan dari nilai
instrumental itu sendiri. Dapat juga dimungkinkan berbeda-beda wujudnya, namun
demikian tidak bisa menyimpang atau bahkan tidak dapat bertentangan. Artinya
oleh karena nilai dasar, nilai instrumental dan nilai praksis itu merupakan
suatu sistem perwujudannya tidak boleh menyimpang dari sitem tersebut.
2.5.2 Pengertian Norma
Norma adalah struktur nilai yang
menjadi pedoman penilaian tingkah laku manusia yang harus dijalankan dalam
kehidupan sehari-hari yang didasarkan atas suatu motivasi tertentu. Nilai yang
menjadi milik bersama didalam satu masyarakat dan telah tertanam dengan emosi
yang mendalam akan menjadi norma yang disepakati bersama. Nilai-nilai yang
telah dibakukan menjadi norma itulah yang kelak menjadi acuan penilaian. Pada
hakikatnya, norma merupakan perwujudan dari koeksistensi manusia sebagai
makhluk sosial. Norma sendiri dibedakan menjadi empat, yaitu norma agama, norma
moral, norma sosial, dan norma hukum.
2.5.3 Pengertian Moral
Moral berasal dari kata Latin “Mos”
yang jamaknya Mores yang berarti adat atau cara hidup. Etika
dan moral hampir sama artinya, tetapi dalam pemakaian sehari-hari terdapat
sedikit perbedaan. Moral atau moralitas dipakai untuk perbuatan yang sedang
dinilai, sedangkan etika dipakai untuk pengkajian sistem nilai-nilai yang ada.
Secara umum moral merupakan suatu ajaran ataupun wejangan, patokan, kumpulan
peraturan baik lisan maupun tertulis tentang bagaimana manusia harus hidup dan
bertindak agar menjadi manusia yang baik.
2.5.4 Hubungan Nilai, Norma dan Moral
Nilai merupakan kualitas dari suatu
yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, baik lahir maupun batin. Dalam
kehidupan manusia nilai dijadikan landasan, alasan ataupun motivasi dalam
bersikap dan bertingkah laku baik disadari ataupun tidak. Nilai tidak bersifat
konkrit yang dapat ditangkap indra manusia melainkan bersifat abstrak yang
hanya dapat dipahami, dipikirkan, dimengerti dan dipahami oleh manusia.
Agar nilai menjadi menjadi lebih
berguna dalam menuntun sikap dan tingkah laku manusia maka perlu dikonkritkan
serta diformulasikan menjadi lebih objektif sehingga memudahkan menjabarkannya
dalam tingkah laku secara konkrit. Wujud lebih konkrit dari nilai inilah yang
disebut norma. Terdapat berbagai macam norma dimana norma hukumlah yang paling
kuat karena dapat dipaksakan oleh suatu kekuasaan.
Selanjutnya nilai dan norma
senantiasa berkaitan dengan moral dan etika. Istilah moral mengandung
integritas dan martabat pribadi manusia. Derajat kepribadian seseorang amat
ditentukan oleh moralitas yang dimilikinya. Makna moral yang terkandung dalam
kepribadian seseorang itu tercermin dari sikap dan tingkah lakunya. Dalam
pengertian inilah maka kita memasuki wilayah norma sebagai penuntun sikap dan
tingkah laku manusia. Demikianlah hubungan yang sistematik antar nilai, norma,
dan moral yang pada gilirannnya krtiga aspek tersebut terujud dalam suatu
tingkah laku praksis dalam kehidupan manusia.
2.6 Peran
Pancasila sebagai Sumber Etika Politik di Indonesia
Pancasila sebagai dasar falsafah
bangsa dan Negara yang merupakan satu kesatuan nilai yang tidak dapat
dipisah-pisahkan dengan masing-masing sila-silanya. Karena jika dilihat satu
persatu dari masing-masing sila itu dapat saja ditemukan dalam kehidupan
berbangsa yang lainnya. Namun, makna Pancasila terletak pada nilai-nilai dari
masing-masing sila sebagai satu kesatuan yang tak bias ditukar-balikan letak
dan susunannya. Pancasila tidak hanya merupakan sumber derivasi peraturan
perundang-undangan, melainkan juga merupakan sumber moralitas terutama dalam
hubungannya dengan legitimasi kekuasaan, hukum, serta kebijakan dalam
penyelenggaraan negara. Untuk memahami dan mendalami nilai nilai Pancasila
dalam etika berpolitik itu semua terkandung dalam kelima sila Pancasila.
2.6.1. Ketuhanan Yang Maha Esa
Sila pertama merupakan sumber
nilai-nilai moral bagi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan. Berdasarkan sila
pertama Negara Indonesia bukanlah negarateokrasi yang mendasarkan
kekuasaan negara pada legitimasi religius. Kekuasaan kepala negara tidak
bersifat mutlak berdasarkan legitimasi religius melainkan berdasarkan
legitimasi hukum dan demokrasi. Walaupun Negara Indonesia tidak
mendasarkan pada legitimasi religius, namun secara moralitas kehidupan negara
harus sesuai dengan nilai-nilai yang berasal dari Tuhan terutama hukum serta
moral dalam kehidupan negara. Oleh karena itu asas sila pertama lebih berkaitan
dengan legitimasi moral.
2.6.2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Sila kedua juga merupakan sumber
nilai-nilai moralitas dalam kehidupan negara. Bangsa Indonesia sebagai bagian
dari umat manusia di dunia hidup secara bersama dalam suatu wilayah tertentu,
dengan suatu cita-cita serta prinsip hidup demi kesejahteraan bersama. Manusia
merupakan dasar kehidupan dan penyelenggaran negara. Oleh karena itu asas-asas
kemanusiaan adalah bersifat mutlak dalam kehidupan negara dan hukum. Dalam
kehidupan negara kemanusiaan harus mendapatkan jaminan hukum, maka hal inilah
yang diistilahkan dengan jaminan atas hak-hak dasar (asasi) manusia.
Selain itu asas kemanusiaan juga harus merupakan prinsip dasar moralitas dalam
penyelenggaraan negara.
2.6.3. Persatuan Indonesia
Persatuan berati utuh dan tidak
terpecah-pecah. Persatuan mengandung pengertian bersatunya bermacam-macam corak
yang beraneka ragam menjadi satu kebulatan. Sila ketiga ini mencakup persatuan
dalam arti ideologis, politik, ekonomi, sosial budaya, dan hankam. Indonesia
sebagai negara plural yang memiliki beraneka ragam corak tidak terbantahkan
lagi merupakan negara yang rawan konflik. Oleh karenanya diperlukan semangat
persatuan sehingga tidak muncul jurang pemisah antara satu golongan dengan
golongan yang lain. Dibutuhkan sikap saling menghargai dan menjunjung semangat
persatuan demi keuthan negara dan kebaikan besama. Oleh karena itu sila ketiga
ini juga berkaitan dengan legitimasi moral.
2.6.4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/ Perwakilan
Negara adalah berasal dari rakyat
dan segala kebijaksanaan dan kekuasaan yang dilakukan senantiasa untuk rakyat.
Oleh karena itu rakyat merupakan asal muasal kekuasaan negara. Dalam
pelaksanaan dan penyelenggaraan negara segala kebijaksanaan, kekuasaan serta
kewenangan harus dikembalikan kepada rakyat sebagai pendukung pokok negara.
Maka dalam pelaksanaan politik praktis, hal-hal yang menyangkut kekuasaan
legislatif, eksekutif serta yudikatif, konsep pengambilan keputusan, pengawasan
serta partisipasi harus berdasarkan legitimasi dari rakyat, atau dengan kata
lain harus memiliki “legitimasi demokratis”.
2.6.5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Dalam penyelenggaraan negara harus
berdasarkan legitimasi hukum yaitu prinsip “legalitas”. Negara Indonesia
adalah negara hukum, oleh karena itu keadilan dalam hidup bersama (keadilan
sosial) merupakan tujuan dalam kehidupan negara. Dalam penyelenggaraan negara,
segala kebijakan, kekuasaan, kewenangan serta pembagian senatiasa harus
berdasarkan hukum yang berlaku. Pelanggaran atas prinsip-prinsip keadilan dalam
kehidupan kenegaraan akan menimbulkan ketidakseimbangan dalam kehidupan negara.
Pola pikir untuk membangun kehidupan
berpolitik yang murni dan jernih mutlak dilakukan sesuai dengan kelima sila
yang telah dijabarkan diatas. Yang mana dalam berpolitik harus bertumpu pada
Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan
Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyarawatan/Perwakilan dan dengan penuh Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat
Indonesia tanpa pandang bulu. Etika politik Pancasila dapat digunakan sebagai
alat untuk menelaah perilaku politik Negara, terutama sebagai metode kritis
untuk memutuskan benar atau slaah sebuah kebijakan dan tindakan pemerintah
dengan cara menelaah kesesuaian dan tindakan pemerintah itu dengan makna
sila-sila Pancasila.
Etika politik harus direalisasikan
oleh setiap individu yang ikut terlibat secara konkrit dalam pelaksanaan
pemerintahan negara. Para pejabat eksekutif, legislatif, yudikatif, para
pelaksana dan penegak hukum harus menyadari bahwa legitimasi hukum dan
legitimasi demokratis juga harus berdasarkan pada legitimasi moral. Nilai-nilai
Pancasila mutlak harus dimiliki oleh setiap penguasa yang berkuasa mengatur
pemerintahan, agar tidak menyebabkan berbagai penyimpangan seperti yang sering
terjadi dewasa ini. Seperti tindak pidana korupsi, kolusi dan nepotisme,
penyuapan, pembunuhan, terorisme, dan penyalahgunaan narkotika sampai
perselingkuhan dikalangan elit politik yang menjadi momok masyarakat.
Dalam penerapan etika politik
Pancasila di Indonesia tentunya mempunyai beberapa kendala-kendala, yaitu :
a. Etika politik terjebak menjadi sebuah ideologi sendiri.
Ketika seseorang mengkritik sebuah ideologi, ia pasti akan mencari
kelemahan-kelemahan dan kekurangannya, baik secara konseptual maupun praksis.
Hingga muncul sebuah keyakinan bahwa etika politik menjadi satu-satunya cara
yang efektif dan efisien dalam mengkritik ideologi, sehingga etika politik
menjadi sebuah ideologi tersendiri.
b. Pancasila merupakan sebuah sistem filsafat yang lebih
lengkap disbanding etika politik Pancasila, sehingga kritik apa pun yang
ditujukan kepada Pancasila oleh etika politik Pancasila tidak mungkin berangkat
dari Pancasila sendiri karena kritik itu tidak akan membuahkan apa-apa.
Namun demikian, bukan berarti etika
politik Pancasila tidak mampu menjadi alat atau cara menelaah sebuah Pancasila.
Kendala pertama dapat diatasi dengan cara membuka lebar-lebar pintu etika
politik Pancasila terhadap kritik dan koreksi dari manapun, sehingga ia tidak
terjebak pada lingkaran itu. Kendala kedua dapat diatasi dengan menunjukkan
kritik kepada tingkatan praksis Pancasila terlebih dahulu, kemudian secara
bertahap merunut kepada pemahaman yang lebih umum hingga ontologi Pancasila
menggunakan prinsip-prinsip norma moral
3.1 Kesimpulan
Dari rumusan masalah yang
dikemukakan sebelumnya dan berdasar pada pembahasan materi diatas, dapat
ditarik beberapa kesimpulan, yakni :
3.1.1 Etika politik lahir di Yunani pada saat struktur
politik tradisional berangsur-angsur mulai rapuh sampai ambruk. Legitimasi
kekuasaan raja untuk memerintah masyarakat dipertanyakan. Etika politik
menuntut agar segala klaim atas hak untuk menata masyarakat
dipertanggung-jawabkan pada prinsip moral dasar. Menurut al-Ghazali sistem
kenegaraan yang baik adalah sistem kenegaraan yang mempertimbangkan moralitas untuk
kemaslahatan bersama dengan pemimpin yang mempunyai integritas tinggi ditopang
dengan kekuatan moral yang kuat.
3.1.2 Etika adalah suatu ilmu yang membahas tentang bagaimana dan
mengapa kita mengikuti suatu ajaran moral tertentu atau bagaimana kita harus
mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan pelbagai ajaran moral.
Etika membahas bagaimana manusia bersikap terhadap segala sesuatu yang ada.
3.1.3 Politik memiliki makna bermacam-macam kegiatan dalam suatu
sistem politik atau negara yang menyangkut proses tujuan penentuan-penentuan
tujuan dari sistem itu dan diikuti dengan pelaksanaan tujuan-tujuan itu. Dalam
hubungan dengan etika politik pengertian politik harus dipahami dalam
pengertian yang luas yaitu menyangkut seluruh unsur yang membentuk suatu
persekutuan hidup yang disebut masyarakat negara.
3.1.4 Etika politik merupakan sebuah cabang dalam ilmu etika yang
membahas hakikat manusia sebagai makhluk yang berpolitik dan dasar-dasar norma
yang dipakai dalam kegiatan politik. Hukum dan kekuasaan negara merupakan
pembahasan utama etika politik dengan pokok permasalahan utama adalah
legitimasi etis kekuasaan. Dimana legitimasi etis mempersoalkan keabsahan
kekuasaan politik dari segi norma-norma moral.
3.1.5 Nilai pada hakikatnya adalah sifat atau kualitas yang
melekat pada suatu objek itu sendiri. Sesuatu dikatakan bernilai apabila
sesuatu itu berharga, berguna, benar, indah, baik dan lain sebagainya.
Berdasarkan penjabarannya nilai dikelompokkan menjadi tiga macam yaitu nilai
dasar, nilai instrumental dan nilai praksis. Norma adalah struktur nilai yang
menjadi pedoman penilaian tingkah laku manusia yang harus dijalankan dalam
kehidupan sehari-hari yang didasarkan atas suatu motivasi tertentu. Sedangkan
moral merupakan suatu ajaran ataupun wejangan, patokan, kumpulan peraturan baik
lisan maupun tertulis tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar
menjadi manusia yang baik.
3.1.6 Pola pikir untuk membangun kehidupan berpolitik yang murni
dan jernih mutlak dilakukan sesuai dengan kelima sila Pancasila. Etika politik
Pancasila harus direalisasikan oleh setiap individu yang ikut terlibat secara
konkrit dalam pelaksanaan pemerintahan negara. Peran Pancasila sebagai
sumber etika politik di Indonesia harus benar-benar dipahami oleh setiap
penguasa yang berkuasa mengatur pemerintahan, agar tidak menyebabkan berbagai
penyimpangan seperti yang terjadi dewasa ini.